Udara
dingin masih setia menemani, gunung-gunung yang mengelilingi lembah baliem masi
tertutup awan. Burung-burung berkicau seolah mengatakan kegembiraan. Hari ini
adalah babak baru bagi murid-muridku di SD YPPGI Hitigima, distrik Asotipo.
Karena hari ini adalah hari pertama di semester II. Saatnya lebih giat belajar
dan lebih rajin datang ke sekolah agar bisa terbebas dari predikat “Tahan kelas” dan bisa duduk
dibangku kelas IV.
Pagi
itu dipelajaran Bahasa Indonesia aku ajak anak-anak bermain Lompat kata. Beberapa anak berdiri di depan kelas, sedangkan
aku akan membacakan satu kalimat. Setiap kata yang di awali huruf kapital di
dalam kalimat itu, anak-anak harus lompat. Misalanya ada nama orang, nama kota
dan nama hari di dalam kalimat yang aku
bacakan, maka anak-anak harus lompat tiga kali. Barangsiapa yang tidak
menyimak, maka akan tertinggal dan di anggap kalah.
Awalnya
semua berjalan lancar, diawali dengan lima orang anak laki-laki yang aku ajak
bermain, kemudian dilanjutkan dengan lima anak perempuan dan seterusnya. Namun
ketika aku coba anak laki-laki dan perempuan berhadapan, mereka saling tabrak
dan keadaan kelas mulai kacau, ada yang naik-naik kursi, bergendang di meja,
dan loncat-loncat tidak jelas seperti pocong. Mereka sudah tidak mengikuti instruksi
lagi, beberapa kali aku harus berteriak, hanya diam beberapa detik kemudian ribut
lagi dan keadaan kelas sangat kacau.
Aku
menggebrak meja guru dan mulai marah. Murid-muridku terkejut dan mulai diam.
Aku memelototi mereka satu persatu dan mulai menasehati. Tapi beberapa anak
laki-laki justru berkata “Ejeh” sambil menaikkan sebelah bahunya pertanda penolakan.
Betapa sakitnya hatiku melihat penolakan mereka. Beberapa siswaku yang sudah
lumanyan pintar dan bisa membaca itu mulai membangkang. Padahal tidak pernah
sekalipun aku mengajarkan mereka seperti itu, aku selalu tanamkan sikap
menghargai guru, namun ternyata belum bisa diterima dengan baik diingatan anak
didikku.
“Ya
sudah, kalau tidak mau belajar Ibu Guru tidak akan paksa. Kalau kalian tidak
mau jadi anak pintar Ibu Guru tidak akan paksa, Ibu Guru mau pulang saja ke
Riau karena kalian semua nakal dan susah di atur. Ibu Guru malas kasi pintar
anak-anak nakal seperti kalian.” Kataku kepada anak-ana di depan pintu. Mereka
semua terdiam dan mulai saling menyalahkan. Aku keluar dari kelas dengan muka
masam diiringi berbagai macam tatapan muridku.
Sampai
dirumah dinas yang hanya berjarak 100 meter dari kelas, aku terduduk diam.
Bingung harus bagaimana. Ku buka sepatu dan jaket SM3T yang ku kenakan tadi, berniat
masak mie instan karena ternyata marah itu menguras energi dan membuat perut
berontak ingin makan. Baru saja aku menghidupkan kopor,tiba-tiba pintu depan di
ketuk. Aku membuka pintu dan disana murid-uridku dikelas III berbondong-bondong
datang kerumahku. Mereka semua tertunduk, saling dorong untuk berkata lebih
dulu kepadaku.
“Mau
apa.” Kataku masih dengan muka masam. Aku masih kesal dengan sikap mereka di
kelas tadi.
“Ini
Ibu Guru, kitorang mau minta maaf.” Ucap Tien Asso yang akhirnya memberanikan
diri berkata duluan.
“Iyo
Ibu Guru, tadi Melkias dorang yang ribut itu, kami tidak Ibu Guru.” Sambung
Saul Asso dengan muka sungguh-sungguh. Yang lain juga ikut bersahut-sahutan
membela diri.
“Ibu
Guru kami mau belajar,”
“Ibu
Guru hukum sudah anak laki-laki dorang yang bikin ribut itu.” Tambah si Hawila
Elopere membela kaum perempuan, Bersoni, Yanes, dan beberapa laki-laki langsung
protes. Mereka mulai ribut dan saling menyalahkan.
“Eh…
sudah…. sudah…. Sekarang kalian masuk dulu.” Ajakku mengajak mereka rapat
kecil-kecilan diruang tamu rumahku. Mereka duduk di lantai sedangkan aku duduk
di kursi yang Cuma satu-satunya ada di ruang tamu.
“Sekarang
Ibu Guru mau tanya, siapa yang mau jadi anak pintar?” tanyaku kepada mata-mata
polos yang menatapku.
“saya
Ibu Guru.. saya.. saya.. saya juga….” Terdengar anak-anak bersahutan menjawab
pertanyaanku.
“Siapa
yang mau jadi Bupati? Siapa yang mau terbang naik pesawat keliling Indonesia?”
aku bertanya lagi. Mereka dengan antusias menjawab dan mengacungkan tangannya
tinggi-tinggi.
“Nah,
kalau mau pintar dan sukses harus bagaimana?” tanyaku lagi.
“beeelaaajaarrr…”
sahut anak-anak.
“Makanyaa….”
“Ibu
Guru jangan pulang ke Riau.” Tiba-tiba si Jelti berkata sambil menunduk
memotong pembicaraanku. Aku melihat matanya yang berkaca-kaca, ia sedang
berusaha menahan tangisnya. Aku terdiam dan duduk menghampirinya. Seketika itu
juga air mata yang dari tadi ditahannya tumpah. Aku turut berkaca-kaca
melihatnya. Si Tien yang melihat adegan itu tiba-tiba memelukku dari belakang.
Isak tangisnya terdengar di telingaku. Reflek tanganku memeluk Jelti yang dari
tadi menangis tertunduk. Hawila, Bersoni, Yanes dan beberapa anak yang tadi
berdebat saling menyalahkan mendekat padaku berusaha ikut memelukku. Kami berpelukan
bagai orang anak-anak yang kehilangan ibunya.
Tak
lagi ku pedulikan bau mereka yang entah berapa hari tidak mandi, tak lagi aku
peduli pada rambut keriting mereka yang dihiasi rumput ilalang dan entah sudah
berapa lama tidak keramas, tak kupedulikan air mata dan ingus mereka yang
tumpah mengenai jilbab dan bajuku, aku ingin merangkul mereka semua dalam
pelukku. Ingin bertahan sejenak merasakan kenyamana luar biasa di peluk erat
oleh Tien, gadisku yang biasanya lincah dan tidak mau diam dikelas. Aku ingin
bertahan di pelukan mereka yang membutuhkanku, aku ingin bertahan di suasana
dimana aku merasa di butuhkan murid-muridku yang polos ini. Sungguh aku tak
ingin pergi dari suasana ini. Beberapa saat yang terdengar hanya isak tangis
guru dan murid bersatu dalam haru.
“Ibu
Guru tidak akan pulang sebelum kalian semua membaca dan jadi anak pintar.”
Janjiku sambil menatap mata mereka satu persatu.
“Ah
tipu, Ibu Guru sebentar lagi pulang, to?” kata Yanes.
“Iyo
memang, tapi kalau kalian sudah naik kelas IV dan sudah bisa membaca semua,
baru Ibu Guru pulang. Makanya harus rajin turun sekolah setiap hari, perhatikan
Ibu Guru sedang mengajar. Bisa to?”
“Bisa
Ibu Guru.” Jawab beberapa anak yang sudah mulai berhenti menangis.
“loh…
loh… ada apa ini. Kenapa menangis semua?” kata Hotma yang tiba-tiba muncul.
Hotma adalah partnerku yang berasal dari dari Universtas Mulawarman. Ia
kebagian tugas mengajar di kelas IV.
“Pantasan
kelas III Kosong. Itu si Aperet sendirian di kelas. Kenapa lagi, kenapa semua
menangis ini? Ada duka kah?” Tanya Hotma bertubi-tubi.
Belum sempat aku menjawab
pertanyaannya, anak kelas II datang padaku memberikan secarik kertas yang di
lipat.
“Ibu Guru, ini surat ada surat.”
Kata Siliwan Asso si pengantar surat.
Aku langsung membuka lipatan kertas
itu. Terpampanglah tulisan acak-acakan dan besar ala Aperet. Satu kertas penuh
dengan tulisanya.
Surat
untuk Ibu Guru
Nama : Aperet Wetipo
Kelas : III
Ibu Guru saya minta maaf. Saya
tidak akan nakal lagi. Ibu Guru jangan pulang ke Riau. Saya mau belajar dengan Ibu
Guru. Ibu Guru jangan marah lagi.
Isi
surat singkat dengan tulisan acak-acakan dan beberapa ejaan yang salah itu
membuatku bertambah haru. Aku kembali memakai sepatu dan jaket SM3T ku. Aku
ajak anak-anak kembali ke kelas.
“Hey
Ibu Guru.. ini kompor hidup mau bikin apa?” Tanya Hotma yang kebingungan
dirumah.
“Kasi
mati sudah, Sa mau mengabdi dulu e.” teriakku dari halaman rumah dengan
semangat membara.
Di
kelas aku melihat Aperet yang duduk sendirian di bangkunya. Ia menyembunyikan
mukanya dalam lipatan tangan. Aku langsung mendekat dan memeluknya dari
samping.
“Ibu
Guru tidak marah lagi kok, Ibu Guru sayang sama kalian semua.” Bujukku sambil
mengelus rambut keritingnya. Aku berniat beranjak dari kursi Aperet dan mulai
membuka pelajaran selanjutnya. Tapi malah terdengar suara isak tangis dari
kepala yang dibenamkan itu.
“Eh….
Kok malah nangis, Ibu Guru tidak marah lagi kok. Ayo kita belajar matematika.”
Kataku membujuk murid laki-laki yang pintar dalam matematika ini. Tiada ku sangka
preman kelas III yang biasanya paling jagoan ini ternyata berhati lembut. Agak lucu dan ingin
tertawa sebenarnya. Tingkah mereka ini membuatku benar-benar seperti sedang
naik roaller coaster. Kadang membuatku geram, kadang membuatku marah dan kadang
membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.
Tidak
berapa lama lagi kami guru-guru SM-3T akan pulang ke kampung halaman
masing-masing, melanjutkan kuliah dan meninggalkan anak-anak didikku. Bagaimana
nasib mereka ketika aku tinggalkan nanti, apakah mereka akan menapati janji
untuk tetap datang ke sekolah meskipun tidak ada Guru. Akan tetap belajar
meskipun tidak ada yang membimbing. Aku juga bertanya-tanya dalam hati,
bagaimana perasaan mereka ketika aku benar-benar pergi dan tak kembali lagi.
Bagaimana aku harus menghilangkan sedihku berpisah dengan murid-murid yang aku
sayangi ini. Hanya waktu yang bisa menjawab semuanya.
Uihh jadi sedih bacanya
BalasHapusSedih kaaaak... :'(
BalasHapusSmkin mnipis aja jatah kakk d sana kk, mkin sedih byanginnya.. :'(
Gue speechless... Coba bisa bilang Ibu guru ko keren... :p
BalasHapusJadi guru sd cewek kalo mau baper2an enak ya... kalo cowok mau baper gitu ntar malah gak pas sama muka.. muka sadis, hati manis. Hehe
BalasHapusBtw.. itu tandanya anak2 sayang banget sama gurunya.. gue sampe kebawa ceritanya nih, iya.. gue bisa ngerti kekhawatiran kalo mereka harus ditinggalin, mereka bakal kayak gimana selanjutnya.. udah bareng setahun, pasti berat juga kalo misal harus pisah.. seculun-culunnya gue jadi guru juga gue ngerasa punya tanggungjawab buat bikin mereka pinter, seenggaknya bisa paham sama materi yg dikasih..
Poto2 dulu yg banyak sebelum pisah sama mereka yak.. biar kalo kangen bisa liat fotonya. :D
Hohoho galak juga ya kak pas menghardik anak muridnya, sabar kak puasa :3
BalasHapusSemoga bisa balikk lagi kesana kak, mereka kangen tuh :D
ANak-anaknya manis-manis ya... :)
BalasHapusHal yang paling menyedihkan adalah berpisah. Semoga nanti bu guru dapat kebahagiaan juga di tempat mengajar lain :D
hebat bu guru, dedikasinya tercermin deh. polos banget ya anak sd nya :") jadi inget film thailand yang judulnya.. teacher's diary. dedikasi guru emang tak ada duanya!!
BalasHapusBesar juga ternyata niat mereka belajar dan punya mental yang berani.
BalasHapusberani minta maaf contohnya. sebagai guru aku tau gimana rasanya perasaan senang mbak kita pas marah semua murid minta maaf dan menyuruh guru itu kembali mengajar. rasanya kita kayak orang yang paling dibutuhkan.
Ini murid-muridnya pada sayang semua sama gurunya,
BalasHapuspunya niat belajar yang tinggi juga, mau minta maaf langsung walau awalnya agak membangkang.
Tapi salut deh, saya pasti nggak tahan kalau harus ngadepin anak-anak
Gue yang abis baca surat dari aperet juga ikutan terharu...
BalasHapusanak muridmu, padahal masih kelas 3 tapi udah punya mental buat minta maaf.. salut dah. :))
profesi guru disana dihargai muridnya ya.. gak kayak di kota2 besar..
bu guru jangan marah-marah, tapi sesekali boleh sih, hehe.. Pengalaman yang sangat menarik, gue jadi inget sama guru gue, waktu itu ngambek juga. Yang pasti, semua murid akan tetap sayang kepada guru dan guru juga akan tetap menyayangi muridnya, indah sekali, keren pengalamannya :)
BalasHapushuhuhu berasa lagi baca novel laskar pelangi versi papua hhe
BalasHapusgak nyangka sih respon anak-anamnya sampe sebegitunya, padahal apa yang kamu lakuin itu sering banget di lakuin sama guru-guru lain, pura-pura ngambek.
kalau di kota mungkin anaknya acuh weh kalau gurunya mau pergi hhe
Kaka mau tanya kelanjutan mengenai sm3t setelah selesai apa progress dari pemerintah selanjutnya ?
BalasHapus